Serupa Tapi Tak Sama: Ini Dia Perbedaan Fidyah dan Kafarat

Dalam ajaran Islam, ada banyak istilah yang berkaitan dengan kewajiban ibadah, keringanan, maupun tebusan atas pelanggaran. Dua istilah yang sering kali membingungkan umat adalah fidyah dan kafarat. Keduanya sama-sama bermakna tebusan, namun kedudukan, penyebab, dan cara pelaksanaannya berbeda. Untuk memahami perbedaannya, kita perlu menelusuri dalil Al-Qur’an, hadis Nabi, serta penjelasan para ulama.

Fidyah: Tebusan Karena Ketidakmampuan
Fidyah secara bahasa berarti tebusan atau pengganti. Dalam syariat Islam, fidyah merupakan kewajiban yang dibebankan kepada seorang Muslim ketika ia meninggalkan puasa Ramadan karena alasan tertentu, dan ia tidak memiliki kemampuan untuk menggantinya dengan qadha di hari lain.

Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 184:
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya; dan berpuasa lebih baik bagi kalian jika kalian mengetahui.”

Ayat ini menjadi dasar hukum adanya fidyah. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “orang-orang yang berat menjalankannya” adalah mereka yang memiliki uzur tetap, seperti orang tua renta yang tidak mampu lagi berpuasa, orang sakit kronis yang kecil kemungkinan sembuh, atau wanita hamil dan menyusui yang khawatir terhadap kondisi anaknya. Dalam kondisi seperti ini, kewajiban berpuasa digantikan dengan memberi makan fakir miskin sebanyak hari yang ditinggalkan.

Dengan demikian, fidyah tidak muncul karena adanya kesalahan, melainkan karena ketidakmampuan. Seorang Muslim yang menunaikan fidyah sesungguhnya tetap dianggap beribadah, karena ia membayar pengganti ibadah yang tidak sanggup ia lakukan. Maka, fidyah adalah bentuk keringanan (rukhsah) sekaligus rahmat dari Allah SWT kepada hamba-Nya yang berada dalam keterbatasan.

Kafarat: Tebusan Karena Pelanggaran
Berbeda dengan fidyah, kafarat muncul bukan karena ketidakmampuan, melainkan karena adanya pelanggaran syariat. Kata kafarat berasal dari kata kafara yang berarti menutupi. Dalam konteks syariat, kafarat berarti menutupi atau menebus dosa akibat pelanggaran yang dilakukan seorang Muslim terhadap aturan tertentu.

Salah satu contoh yang sangat terkenal adalah kafarat bagi orang yang melakukan hubungan suami-istri di siang hari bulan Ramadan dengan sengaja. Dalam sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, disebutkan bahwa seorang laki-laki mendatangi Rasulullah SAW seraya berkata, “Wahai Rasulullah, aku telah mencampuri istriku di siang hari Ramadan.” Nabi SAW kemudian menjelaskan kewajiban kafarat baginya: pertama membebaskan seorang budak, jika tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu juga maka memberi makan enam puluh orang miskin.

Contoh lain dari kafarat adalah kafarat sumpah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’idah ayat 89:

“Allah tidak akan menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksudkan (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah yang kamu sengaja. Maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi mereka pakaian, atau memerdekakan seorang budak. Barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya ialah puasa selama tiga hari…”

Ayat ini menjelaskan bahwa kafarat tidak hanya berkaitan dengan puasa Ramadan, tetapi juga pelanggaran sumpah yang disengaja. Dengan kata lain, kafarat selalu hadir sebagai bentuk penebusan atas kesalahan yang dilakukan dengan sengaja, baik terkait ibadah puasa, sumpah, maupun pelanggaran syariat lainnya seperti zihar dan nazar.

Perbedaan Mendasar
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa meskipun fidyah dan kafarat sama-sama berupa tebusan, keduanya memiliki perbedaan mendasar. Fidyah lahir dari kondisi uzur yang menetap, ketika seorang Muslim tidak mampu melaksanakan ibadah puasa dan tidak ada harapan untuk menggantinya. Kafarat, sebaliknya, muncul karena adanya pelanggaran syariat yang dilakukan secara sengaja, sehingga pelakunya diwajibkan menebus kesalahan tersebut dengan cara tertentu yang lebih berat.

Selain itu, bentuk pembayaran fidyah relatif sederhana, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari puasa yang ditinggalkan. Sedangkan kafarat seringkali memiliki tahapan tertentu yang lebih berat, misalnya memerdekakan budak, puasa dua bulan berturut-turut, atau memberi makan puluhan orang miskin. Hal ini menunjukkan bahwa kafarat lebih bersifat sebagai hukuman dan penebus dosa, sementara fidyah adalah keringanan yang penuh kasih sayang.

Islam adalah agama yang penuh keseimbangan. Dalam urusan ibadah, Allah SWT memberikan kemudahan bagi hamba-Nya yang benar-benar tidak mampu, sehingga fidyah menjadi jalan pengganti. Namun, di sisi lain, Islam juga menegakkan ketegasan bagi mereka yang melanggar aturan secara sengaja, sehingga kafarat menjadi sarana penebusan.

Dengan memahami perbedaan antara fidyah dan kafarat, seorang Muslim dapat menjalankan kewajiban ibadah dengan lebih tenang, serta memahami bahwa setiap hukum Allah senantiasa mengandung hikmah. 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *